NUSANTARANEWS | SUMEDANG – Kebijakan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, terkait pembatasan rombongan belajar (rombel) maksimal 50 siswa bertujuan untuk menjamin hak pendidikan, khususnya bagi siswa kurang mampu. Namun, implementasi di lapangan, terutama melalui program Pencegahan Anak Putus Sekolah (PAPS), masih menyisakan tanda tanya besar, seperti yang terjadi di SMAN Tanjungsari, Kabupaten Sumedang.
Terdapat perbedaan data signifikan antara laporan sekolah dan data resmi pemerintah provinsi, memicu pertanyaan mengenai transparansi proses Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB).
Pada Rabu, 16 Juni 2025, Kepala SMAN Tanjungsari, Chaeruddin Saleh, menjelaskan bahwa total pendaftar Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) di sekolahnya mencapai 988 calon siswa (Tahap 1: 690, Tahap 2: 298). Dari jumlah tersebut, 496 siswa dinyatakan diterima dan telah dilaporkan kepada Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat.
Namun, data di website resmi "spmb.jabarprov.go.id" menunjukkan angka yang berbeda. Kuota SPMB SMAN Tanjungsari Tahap 1 dan 2 adalah 504 siswa, ditambah 13 siswa dari jalur PAPS, sehingga total kuota adalah 517 siswa.
Menanggapi perbedaan ini, Chaeruddin Saleh menjelaskan," Pengertian kuota siswa yang dapat diterima itu berbeda dengan siswa yang diterima dan Beberapa siswa yang lolos seleksi kemudian mengundurkan diri, katanya.
Dia juga menambahkan bahwa kuota penyangga tidak dilimpahkan ke kuota reguler jika tidak terisi penuh, Beberapa pendaftar jalur penyangga sudah lolos di Tahap 1, sehingga kuota penyangga tidak terisi maksimal, ungkapnya.
Chaeruddin menambahkan bahwa alasan pengunduran diri siswa beragam, mulai dari mendapat beasiswa di sekolah asal hingga memilih sekolah lain atau SMK, katanya. Ia juga menyebutkan bahwa dari 72 kuota penyangga, hanya 52 yang terisi, dan sisanya tidak dapat dilimpahkan.
Pemerhati pendidikan, Edi Sutiyo, menyayangkan minimnya jumlah siswa yang diterima melalui jalur PAPS, yaitu hanya 13 orang. Padahal, jalur ini dirancang untuk mengakomodasi siswa rentan sesuai Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 463 Tahun 2025. Kategori siswa yang berhak melalui jalur PAPS meliputi:
1. Siswa berpotensi tinggi putus sekolah.
2. Anak-anak korban bencana alam di Jawa Barat.
3. Anak-anak yang berada di panti asuhan.
4. Anak-anak yang orang tuanya tidak memiliki pekerjaan (jobless) atau bukan termasuk kategori miskin.
Edi Sutiyo mempertanyakan apakah pihak sekolah telah secara optimal mengidentifikasi dan mengakomodasi siswa dari kategori tersebut. "Dari total 988 siswa pendaftar, apakah benar hanya 13 siswa kategori jalur PAPS?" tanyanya, menekankan pentingnya verifikasi data yang akurat.
Kasus ini menyoroti urgensi kehadiran negara dalam menjamin hak dasar pendidikan bagi setiap warga negara, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 31 UUD 1945 Ayat 1. Disparitas data dan minimnya serapan jalur PAPS mengindikasikan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap sistem SPMB agar lebih transparan dan berpihak pada kelompok rentan.
(Endi Kusnadi)