• Jelajahi

    Copyright © NUSANTARA NEWS | Berita Nusantara News Hari Ini
    Nusantara News

    Follow us on

    Republik Desa di Ujung Tanduk: Kedaulatan yang Terkikis Kebijakan Pusat

    NUSANTARA NEWS
    Sabtu, 01 November 2025, 07.02.00 WIB Last Updated 2025-11-01T00:02:36Z

     


    NUSANTARANEWS | BANDUNG - Desa, fondasi utama kedaulatan bangsa, kini menghadapi tantangan serius. Di tengah gembar-gembor pembangunan, kemandirian yang dulu dijanjikan seolah memudar, tergerus oleh kebijakan yang seragam dari pusat. Apakah Republik Desa kini hanya tinggal nama?

     

    "Republik Desa kini tak lagi berdaulat. Haluan dan cara pandang baru berdesa musnah sudah," sebuah ungkapan yang mencerminkan kekecewaan mendalam dari para pemerhati desa. Mereka melihat bagaimana desa yang seharusnya menjadi subjek pembangunan, kini hanya menjadi objek kebijakan.

     

    Alih-alih menjadi perencana, desa lebih sering menjadi pelaksana program-program yang didikte dari atas. Pemerintah pusat menginstruksikan berbagai program dengan desain tunggal, tanpa memberi ruang bagi desa untuk menyesuaikan dengan kebutuhan riil di lapangan.

     

    Prof. Sutoro Eko, pakar kebijakan publik dari Universitas Gadjah Mada, menegaskan, "Desa bukan sekadar perpanjangan tangan pemerintah pusat, melainkan pemerintahan lokal yang memiliki hak asal-usul dan kedaulatan untuk mengatur dirinya sendiri."

     

    Senada dengan itu, Dr. Djohermansyah Djohan, Guru Besar IPDN, mengingatkan bahwa birokratisasi berlebihan justru menumpulkan inovasi desa. Dana desa yang seharusnya menjadi motor pembangunan lokal, kini justru menjadi alat untuk membiayai proyek-proyek nasional yang belum tentu sejalan dengan prioritas masyarakat desa.

     

    Semangat gotong royong dan kearifan lokal yang dulu menjadi ciri khas desa, kini perlahan memudar. Konsep pembangunan desa berkeadilan sosial digantikan oleh pola administratif yang serba laporan dan target.

     

    Prof. Yayan Sopyan, sosiolog pedesaan dari Universitas Padjadjaran, menyebut fenomena ini sebagai "krisis makna berdesa." Menurutnya, desa kini lebih sibuk dengan urusan administrasi daripada menghidupkan solidaritas sosial.

     

    Dr. Budiman Sudjatmiko, inisiator gerakan Desa Maju, pernah menegaskan bahwa desa yang kuat adalah desa yang berdaulat secara ekonomi dan sosial, bukan hanya administratif. Namun, arah kebijakan saat ini justru mengikis keberanian desa untuk berkreasi dan berdiri di atas kaki sendiri.

     

    Kedaulatan desa bukan berarti memisahkan diri dari negara, melainkan menegaskan bahwa desa adalah subjek pembangunan. Negara seharusnya hadir untuk memperkuat, bukan mengatur secara berlebihan.

     

    Prof. Bambang Purwoko, ahli tata kelola desa UGM, berpendapat bahwa negara perlu berani menata ulang relasi kekuasaan dengan desa. Desa harus diposisikan sebagai arena demokrasi lokal yang nyata, bukan sekadar pelaksana APBN.

     

    Dr. Robert Endi Jaweng, Direktur Eksekutif KPPOD, menegaskan bahwa tanpa desentralisasi sejati hingga ke level desa, otonomi daerah hanya akan berhenti di kabupaten dan kota. Revitalisasi desa menjadi prasyarat utama agar demokrasi lokal benar-benar hidup.

     

    Sudah saatnya desa kembali berdiri tegak sebagai republik kecil dalam republik besar, berdaulat atas tanahnya, rakyatnya, dan masa depannya sendiri. Karena tanpa desa yang berdaulat, mustahil Indonesia bisa benar-benar merdeka dalam arti yang sesungguhnya.

     

    Membangun Indonesia dari pinggiran tidak akan terwujud jika desa terus dijadikan objek kebijakan. Diperlukan perubahan paradigma yang menempatkan desa sebagai subjek pembangunan yang berdaulat, agar cita-cita kemerdekaan yang sejati dapat tercapai.

    Oleh: Hadian Supriatna


    (Endi Kusnadi)


    Komentar

    Tampilkan

    BERITA TERBARU