NUSANTARANEWS | SUMEDANG — Sebuah desa di Kecamatan Cimanggung, Kabupaten Sumedang, tiba-tiba menjadi pusat perhatian publik. Hal ini terungkap saat sejumlah media yang tergabung dalam Solidaritas Insan Media dan Penulis Nasional (Simpe) melakukan penelusuran terkait polemik pengelolaan Limbah Bahan Beracun dan Berbahaya (B3) milik PT Yakjin Jaya Indonesia.
Fakta menarik terungkap dari keterangan Ari Gunawan, Kepala Desa Sindangpakuon, yang secara terbuka memaparkan kronologi polemik tersebut kepada wartawan. Menurutnya, pengelolaan limbah dari PT Yakjin Jaya Indonesia yang berlokasi di RW 04, Desa Sindangpakuon, bermula dari perjanjian kerjasama antara CV Sindang Pakuon Jaya dan PT Yakjin Jaya Indonesia, yang diketuai oleh H. Daman, ayahnya sendiri.
“Ada perjanjian kerjasama antara CV Sindang Pakuon Jaya dan PT Yakjin Jaya Indonesia yang sudah berlangsung dua tahun sebelum saya menjabat sebagai kepala desa. Saat itu, saya masih menjabat sebagai RW dan mencalonkan diri sebagai anggota dewan. Setelah saya terpilih sebagai PAW, proses kerjasama ini pun mulai menjadi perhatian,” ujar Ari.
Kekisruhan muncul karena ketidaktransparanan terkait pemanfaatan dana dari kerjasama tersebut. RW 04, yang merupakan lokasi utama PT, awalnya melakukan musyawarah dan memutuskan pembagian hasil kepada beberapa pihak, termasuk RW 05, 06, dan 07. Mereka mendapatkan bagian karena berdekatan langsung dengan lokasi pabrik.
Namun, tiga minggu lalu, Kepala Desa Ari bersama Ketua RW 04, RT, BPD, tokoh masyarakat, dan Ketua LPM memutuskan untuk menghentikan campur tangan desa dalam urusan kerjasama tersebut, sesuai himbauan dari Komisi Disiplin Masyarakat (KDM). “Saya menegaskan bahwa mulai saat itu, desa tidak lagi terlibat dalam urusan kerjasama CV Sindangpakuon Jaya dengan PT Yakjin Jaya Indonesia,” tegasnya.
Dalam rapat terakhir, desa menerima distribusi dana sebesar Rp 6.750.000 yang dibagi kepada beberapa pihak. Ari mendapatkan bagian Rp 2 juta, yang menurutnya tidak mengurangi jatah masyarakat. Dari jumlah tersebut, Rp 500 ribu diberikan kepada Sekdes, Rp 250 ribu kepada Ketua BPD, dan Rp 250 ribu lagi untuk anggota BPD. Ari menyatakan, uang tersebut digunakan untuk kepentingan masyarakat, seperti membantu warga sakit, pembangunan polisi tidur, dan kebutuhan lainnya.
“Aku takut ini dianggap gratifikasi, karena setiap kali ada rezeki dari Yakjin, manfaatnya kembali ke masyarakat. Bahkan, jika ada warga meninggal, uang tersebut juga digunakan,” ujar Ari.
Pemerhati kebijakan publik sekaligus Ketua Simpe Nasional, Edi Sutiyo, memberikan tanggapan. Ia menilai apa yang dilakukan Kades patut diapresiasi, karena uang tersebut seharusnya digunakan untuk kepentingan masyarakat. Namun, dari sudut aturan hukum, tindakan tersebut berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
“Penerimaan ‘jatah’ atau pemberian apa pun terhadap Kepala Desa yang berhubungan dengan jabatannya dapat dikategorikan sebagai gratifikasi. Jika tidak dilaporkan dalam waktu 30 hari kerja, bisa dianggap sebagai tindak pidana suap,” tegas Edi.
Menurut UU Tipikor, gratifikasi mencakup pemberian uang, barang, diskon, komisi, tiket, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan gratis, dan lain-lain, baik di dalam maupun luar negeri. Sebagai Penyelenggara Negara, kepala desa wajib melaporkan setiap gratifikasi yang terkait jabatannya kepada KPK. Jika tidak, pemberian tersebut dapat dianggap sebagai suap dan berpotensi dihukum pidana penjara seumur hidup atau minimal 4 tahun, dengan denda maksimal Rp 1 miliar
Pengelolaan limbah dan distribusi dana dari perusahaan kepada desa harus dilakukan secara transparan dan sesuai aturan hukum. Jika tidak, berpotensi menimbulkan masalah hukum dan kepercayaan masyarakat. Pemerintah desa dan aparat terkait diimbau untuk selalu berhati-hati dan mematuhi ketentuan hukum demi menjaga integritas dan keberlangsungan pembangunan desa.
(Endi Kusnadi)


